Salah satu destinasi yang kami
kunjungi saat di Melaka adalah Kampung Morten. Sebuah perkampungan tradisional
yang terletak di tepi Sungai Melaka. Sebenarnya letak salah satu ujung kampung
ini dekat dengan hotel tempat kami menginap, hanya saja agar perjalanan bisa
sampai ujung yang paling jauh, kami memilih naik taksi.
So, setelah puas belanja di mall,
kami menyewa lima kalau tidak enam taksi untuk nemenin perjalanan ke Kampung
Morten. Maklum rombongannya banyak hehhe. Ditemani rintik hujan kami menuju
Kampung yang mendapat julukan Warisan Dunia oleh UNESCO pada 7
Julai 2008. Ehm..
terasa syahdu, bersama teman seperjuangan beasiswa menjelajahi Melaka dalam
rinai hujan.
Sesampai depan Kampung Morten, tak
lupa kami foto-foto dulu. Ya, sayang sekali kalau sampai moment ini tidak
diabadikan. Setelah puas mengambil gambar, kami berkeliling ke kampung yang
terdiri dari rumah kayu tradisional Melaka. Kampung ini satu-satunya kampung
Melayu yang masih bertahan tengah Melaka. Woow.. masih terjaga kultur
melayunya.
fotbar di depan mall |
Perjalanan dimulai, kalau diamati
kampung ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan tinggi. Tetap hijau walaupun
dihimpit pembangunan. Jika kita melalui jalan kampung, rata-rata halaman rumah
kampung bersih dan dihias bunga. Tidak terlihat tumpukan sampah. Rumah
tradisional bercat indah dan banyak pula dijadikan homestay dan kampung stay.
Oke sekarang kita bicara sejarahnya, Kampung
Morten ialah sebuah perkampungan tradisional Melayu di tengah bandar Melaka.
Asalnya penduduk awal di sini berasal dari Kampung Jawa yang diambil tanahnya
untuk pembangunan. Sewaktu penduduk asal mau dipindahkan dari Kampung Jawa,
seorang yang dihormati, Dato' Othman Mohd Noh dan rakannya mencari kawasan
baru. Tanah di tepi sungai ini berpaya tetapi menjadi laluan kapal dagang
menjalankan barter trade.
Dato' Othman menjadi sole guarantor untuk mendapatkan pinjaman 10,000 Dolar
Selat dari Tabung Pinjaman Khas. Kepercayaan ini menunjukkan Dato' Othman orang
yang sangat dihormati dan dipercayai oleh pemerintah (Malaysia di bawah
kekuasaan Inggris). Sebagai memperingati jasanya nama Dato' Othman diabadikan
sebagai nama jalan di kampung tersebut.
Ndak salah kalau kota ini juga dapat
penghargaan dari New York Time.
Oiya, ketika jalan-jalan di sini, kami
melewati sebuah jembatan. Kalau diamati, jembatan ini menyambungkan dua nuansa
yang berbeda. Apa itu? Lama dan baru.
Di salah satu sisi jembatan terdapat
deretan rumah tradisional Melayu, sedang di sisi satunya adalah bangunan
modern. Ini menggambarkan kalau Melaka terbuka menerima tamu, terbuka akan
hal-hal baru dan terus menjaga kultur asli budaya mereka.
Tak hanya itu, mata kita juga akan
dimanjakan warna-warni bunga yang tertata dengan manis. Tak ayal lagi, tiap
spotnya menjadi hal yang menarik untuk dicekrek… cekrek.. Ide yang keren,
menyulap sebuah kampung melayu dengan warna-warni bunga.
Jalan.. jalan.. dan jalan lagi.. *namanya
juga backpacker,,, kami melewati cafe tepi sungai. Namun sayang saat itu tutup.
Entah karena hari Jumat, entah karena buka malam. Tapi kalau malam memang bakal
seru.. apalagi kalau ada kerlip lampu dan aneka bunga. Romantis!
Lanjut perjalanan.. setelah puas menikmati
warna-warni bunga, jembatan akan mengarahkan kita ke mangrove. Selain mangrove,
kanan kiri jalan ada papan tips, peta, dan kata-kata motivasi agar kita
semangat jalan. Jalannya lumayan euy… untung kanan kiri ada berbagai
pemandangan yang kece, jadi tidak terasa capeknya. *terasanya pas di hotel
wkwkwkw…
Setelah ujung mangrove, kami menyusuri
jembatan dengan pemandangan biawak di kiri jalan. Sepertinya hewan satu ini
mudah ditemui di Melaka. Kata teman yang ada di Kalimantan, biawak adalah hewan
yang sering lalu lalang di rumah. Jadi episode rumah kemasukan biawak atau
banging tidur di sebelah tiba-tiba ada biawak menjadi hal biasa. Buat saya yang
baru sekali itu melihat biawak, jadi horror sendiri. Nggak bisa bayangin kalau
rumah saya dimasukin buaya kecil.. hiii… ngeri!
Sungguh asyik menghabiskan hari-hari keliling kota Melaka. Satu saat nanti semoga bisa kembali lagi. Aamiin…